Terkenal untuk Siapa?

1 komentar

Dua orang terlibat pertengkaran. Psiwar ditebar. Saling berbalas ancam hingga nyaris pukul-pukulan. Ada juga kisah mereka yang dikabarkan menikah diam-diam, (maaf) berselingkuh dengan sesama teman dan sebagainya. Keruh, aib diumbar hingga menyampah di acara berbudget rendah bertajuk infotainment.

Waktu kemudian yang menjawab bahwa di antara cerita-cerita di atas ternyata bohong belaka. Sekedar skenario agar nama terangkat dan rating acara semakin kuat. Drama ini sengaja mereka bikin agar wajah terus disorot kamera dan namanya menjadi buah bibir dimana-mana. Kalau keadaan sudah sedemikian hiruk pikuk, penonton dipastikan menumpuk, maka iklan yang menjadi sumber keuangan acara-acara semacam, dipastikan akan ngantri berebut memenuhi pundi-pundi pendapatan. Meski demi itu semua, mereka rela membuat kisah bohong. Atau Istilah kerennya “setingan
Di kesempatan yang lain. Seorang gadis muda yang sedang merekah namanya, mengenakan kaos berlogo organisasi terlarang, memajang foto selfie  di akun instagramnya. Wanita yang lain membuat postingan foto diri berbusana minimalis. Tokoh yang lainnya lagi selalu menulis di twitternya ciutan bernada sinis. Publik yang menyaksikan pun dibikin heboh nggak karu-karuan.

Di industri hiburan, banyak jalan ditempuh agar nama bisa ngetop. Kalau tidak membuat drama setingan, cara lain adalah dengan membanting diri menjadi public enemy. Melalui tweet-tweet yang membuat gerah, atau postingan di media sosial yang memancing polemik. Sangat sedikit yang menempuh jalan prestasi dan kebaikan, karena dianggap terlalu sulit dan tidak instan. Dan jangan salah, seumpama kita berada di posisi mereka, mungkin kita juga akan berperilaku tak jauh beda. Ya Allah, berikan kami kekuatan untuk bisa menjauh dari fitnah dunia.

Saudaraku, kisah-kisah di atas tadi bisa terjadi karena berawal dari sebuah tujuan yang bernama popularitas! Ya, harus diakui kita-kita adalah makhluk pendamba ketenaran. Seakan jika nama sudah populer, wajah terpampang dimana-mana , hidup akan jadi lebih bermakna. Indah, mudah dan menyenangkan. Oleh karena itu, meski harga sebuah ketenaran begitu mahal, banyak di antara kita yang rela menempuhi jalannya. Ada yang berani mengorbankan harta benda, banyak pula yang rela melakukan hal-hal yang diharamkan. Padahal yang lebih sering terjadi, setelah berkorban habis-habisan, justru kita urung jadi pesohor. Kalaupun terkenal, sebentar kemudian nama kita lenyap, hilang tertiup angin. Dilupakan begitu saja.

Di zaman yang semakin menua, di tengah dahsyatnya godaan dunia yang semakin membuat kita klepek-klepek tak berdaya, sudah seharusnya kita lebih kokoh lagi melawan arus fitnahnya. Seharusnya kita memberikan porsi yang lebih besar lagi untuk perkara yang berkaitan dengan perbaikan hati dibanding menyibukan diri meraih kemasyhuran duniawi, seperti yang pernah dilakukan oleh generasi terbaik, para salafus shalih. Mari sebentar kita bercermin kepada keadaan mereka...

 Tidak seperti kita, para salafush shalih adalah orang yang takut mendengar kebaikannya disebut-sebut manusia. Ya, mereka adalah orang-orang yang tidak suka ketenaran, demi menjaga keikhlasan dan demi menjaga hati agar tak terpapar fitnah saat mendengar pujian. Agar diri terhindar dari ujub, bangga terhadap apa yang melekat di dirinya.

Dikisahkan suatu saat, seorang tabiin yang bernama Hammad bin Zaid bercerita mengenai sahabatnya, Ayyub As-Sikhtyani : “Saya pernah berjalan bersama Ayyub, maka dia pun membawaku menyusuri gang-gang sempit selain jalan yang umum dilewati manusia kebanyakan. Saya sampai heran mengapa dia bisa begitu tahu adanya gang-gang kecil semacam itu. Ternyata dia memang sering melewati jalan-jalan kecil itu karena takut penduduk daerah itu mengenalinya saat berjalan di jalan umum lalu memanggilnya, “Inilah guru kita, Ayyub.”
Suatu saat Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku takut ditimpa musibah yang bernama ketenaran. Sungguh beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.”
Di saat yang lain beliau pernah berkata kepada salah seorang muridnya yang bernama Abu Bakar ketika sampai kepada beliau kabar bahwa manusia memuji ketinggian ilmu dan akhlak beliau. “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia.”

Sungguh mereka, para ulama salaf adalah manusia-manusia shalih, yang melandaskan semua aktifitasnya demi kepentingan akheratnya. Harapannya hanya ridha Allah semata. Dan memang seperti itulah akhlaq para salafus shalih dalam menyikapi ketenaran. Untuk hal-hal yang bernilai kebaikan saja mereka sangat menjaga nama mereka disebut-sebut, sedangkan kita? Kadang demi nama kita disebut-sebut dan dibicarakan manusia, kita enteng saja melakukan perbuatan-perbuatan  tercela. Naudzubilahi min dzalik...

Lalu apakah kita tak boleh merengkuh popularitas itu? Jika boleh, model popularitas seperti apa yang seharusnya kita tuju? Kisah berikut semoga dapat menjadi inspirasi kita dalam mengejar keterkenalan itu.

Alkisah seorang pemuda bernama Uwais. Dia berasal dari Qaran, sebuah daerah di wilayah Yaman. Selatan Saudi Arabia. Ia adalah orang yang sudah beriman pada masa Nabi, dan sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah membersamai perjuangan Rasulullah. Namun baktinya kepada ibu yang harus dijaganya mengalahkan keiginannya itu. Ia memilih membersamai bundanya kendati harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Nabi di dunia.
Lantaran kemiskinannya, ia menjadi sosok yang tak dianggap. Tetapi kualitas ibadahnya, kecintaan pada Rabb dan Nabinya serta baktinya kepada ibundanya, menjadikan meski ia sosok yang tak dikenal di bumi tetapi sangat terkenal di langit.

Dari Asir bin Jabir beliau mengatakan, “Jika rombongan dari Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?” Sampai suatu hari beliau bertemu dengan Uwais dan berkata “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan dari Yaman. Dahulu ia tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn. Dia pernah sembuh dari penyakit belang putih, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya, mohonkan ia meminta ampunan Allah untukmu.”

Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku. Uwais al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Maukah kutuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu?” Uwais al-Qorni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.” (HR. Muslim)
Maka tak perlu berkecil hati hanya menjadi orang kebanyakan, manusia tak dianggap. Justru harus kita syukuri, karena justru itulah yang dicari para salafus shalih. Tak apa menjadi manusia biasa yang penting amal kebaikan tidak biasa-biasa saja. Demikianlah contoh akhlak tabiin terbaik dalam memandang popularitas.

***

Di tangan kita. Jempol sedang berkutak-kutik di atas handphone. Membuka media sosial dan menulis status baru. Sebelum memencet tombol send, apakah kita pernah bertanya ke dalam hati, untuk apa kita menulis status itu. Berbagi nasehat, memberi kabar silaturrahim kepada saudara dan sahabat, tagging posisi agar keberadaan kita diketahui sanak famili, atau sekedar agar terkenal, mencari popularitas dengan sebanyak-banyaknya menjaring like dan komentar? Berat, tetapi mari kita bersama terus belajar menata niat, agar seluruh aktivitas kita ikhlas lillahi ta’ala.
Wallahu a’lam

1 komentar :

  1. Ruaaarrrr biyasaaaah :))
    Harus diakui "menjadi terkenal" itu muaranya adalah: biar bisa bersahabat akrab dengan gemilang UANG. Dan, UANG menjadi visi kehidupan manusia. Well, itu paling tidak, menurut saya.

    Kalo aku pribadi siy, better ENGGAK PERLU Terkenal, yang penting Gampil dapat Uang, wahahahah ===> podo ae.

    Good job, abi NamiRuma! Lanjutkan :))
    bukanbocahbiasa(dot)com

    BalasHapus